Selasa, 23 November 2010

BEM Fisip Selenggarakan Aksi Kepedulian terhadap Sesama

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Diponegoro, kembali menggelar acara “Garage Sale” bertempat di selasar gedung B Fisip, Undip pada tanggal 23-24 November 2010. Acara yang bertajuk “Kita Muda dan Peduli” ini merupakan wujud kepedulian dari mahasiswa Fisip, baik kepada para korban bencana, maupun untuk sesama yang membutuhkan.

“Acara Garage Sale ingin mengajak teman-teman mahasiswa untuk berpartisipasi memberikan sumbangan bagi para korban bencana, baik di Merapi maupun Mentawai. Hasil dari sumbangan teman-teman ini nantinya akan langsung kami salurkan ke posko-posko korban letusan Gunung Merapi, dan sebagian kami kirim untuk korban di Mentawai,” jelas Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat BEM Fisip, Dwi Susanto, saat ditemui dalam acara ini.

Acara ini juga dimeriahkan dengan dibukanya stand-stand bazar dari mahasiswa fisip, yaitu dari Pelayanan Rohani Mahasiswa Katolik (PRMK), mahasiswa jurusan Administrasi Bisnis, Pertanahan, dan Ilmu Pemerintahan. Selain itu, pengunjung juga dapat melihat pameran foto dari teman-teman BEM dan live musik akustik. Pengunjung, baik dari mahasiswa maupun dosen dan karyawan, terlihat antusias mengikuti acara ini hingga selesai.

“Menurut saya, acara ini sangat menarik, karena mahasiswa, sebagai generasi muda, bisa mengembangkan kreativitasnya dan tentu saja memberikan kontribusi nyata terhadap bangsa Indonesia.” Kata salah satu pengunjung Garage Sale, Aldio Gema P.

Selain memberikan bantuan finansial, BEM Fisip juga menggelar aksi donor darah, pada Rabu (24/11). Aksi ini merupakan rangkaian dari acara Garage Sale. Bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI), BEM fisip berharap aksi sosial ini dapat bermanfaat bagi masyarakat.

Minggu, 14 November 2010

Ketika Wanita Hanya Menjadi Komoditas


Ketika Wanita Hanya Menjadi Komoditas

Kajian Teori Feminisme Marxis dalam Film Jamila dan Sang Presiden

A. Latar Belakang

Media massa merupakan sarana yang efektif untuk menghubungkan seseorang atau sekelompok orang dengan publik. Diantara sekian banyak media yang berkembang di Indonesia, sampai saat ini, film masih menjadi salah satu media hiburan yang paling populer karena film menyajikan gambar secara audiovisual. Film dapat dikatakan mampu membentuk identitasnya sendiri.

Terlepas dari fungsi tersebut, film adalah media efektif dalam pembelajaran budaya oleh masyarakat. Film dapat juga dilihat sebagai representasi dan potret kehidupan. Representasi ini merujuk pada bagaimana media massa mengkonstruksi segala realitas yang ada di dalam masyarakat. Seperti pada film ”Jamila dan Sang Presiden”. Film yang merepresentasikan adanya kasus perdagangan manusia dan pelecehan seksual terhadap seorang wanita. Jamila adalah satu dari sekian banyak korban perdagangan manusia (human trafficking) yang akhirnya Ia hanya sebagai pekerja seks (pelacur).

Berdasarkan hasil pemantauan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hampir sebagian besar daerah di Indonesia terindikasi sebagai daerah asal korban trafficking, baik untuk dalam maupun luar negeri. Daerah tersebut meliputi, Nanggroe Aceh Darrussalam, Sumatera, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur. Indonesia juga menempati urutan ke-3 sebagai negara yang bermasalah dalam memberantas human trafficking. Sekitar 30% prostitusi perempuan di Indonesia adalah perempuan di bawah umur 18 tahun. Sebanyak 40.000 s/d 90.000 per tahun, anak Indonesia menjadi korban kekerasan seksual. Perempuan dan anak Indonesia diperdagangkan untuk eksploitasi seksual, yaitu di Asia dan Timur Tengah.

Outline Makalah ini disusun untuk menganalisis kasus perdagangan manusia (human trafficking), sindikat prostitusi wanita dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Dengan menggunakan teori feminist Marxis, penulis mencoba memberikan argumentasi yang tepat dan solusi dalam memecahkan permasalahan tersebut.

B. Perumusan Masalah

Media massa seringkali memberikan representasi dan gambaran mengenai realitas yang terjadi di dalam kehidupan. Representasi ini bisa berbentuk tulisan di media cetak bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film.

Dalam film yang berjudul “Jamila dan Sang Presiden”, film ini mencoba menguak tabir perdagangan manusia dan prostitusi, yang belum mendapatkan penanganan serius dari pemerintah. Film ini adalah gambaran dari sikap pemerintah terhadap perempuan. Dalam kehidupannya sebagai warga negara, perempuan kerap mengalami diskriminasi sistemik ekonomi.

Media mengkonstruksikan wanita sebagai makhluk yang lemah (hanya menjadi konco wingking) khususnya dalam segi ekonomi. Dalam film tersebut, wanita selalu jadi 'makhluk kelas dua' jika dibandingkan dengan lawan jenisnya, laki–laki. Wanita menjadi pihak yang tertindas karena situasi dan tuntutan ekonomi. Hal inilah yang kemudian memaksa Jamila, wanita dalam film tersebut, akhirnya menjadi seorang pekerja seks. Laki-laki mempunyai akses yang lebih baik dari segi ekonomi. Oleh karena itu membuat penindasan dan pelecehan seksual terhadap wanita kerap terjadi di Indonesia.

Tamrin Amalgola mengkategorikan citra wanita di media massa sebagai berikut:

1. Citra Pigura : Perempuan sebagai sosok yang sempurna dengan bentuk tubuh ideal.
2. Citra Pilar : Perempuan sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah tangga.
3. Citra Peraduan : Perempuan sebagai objek seksual.
4. Citra Pinggan : Perempuan sebagai sosok yang identik dengan dunia dapur.
5. Citra Pergaulan : Perempuan sebagai sosok yang kurang percaya diri dalam pergaulan.

Dalam outline makalah ini, penulis merumuskan suatu permasalahan mengenai perlakuan terhadap wanita sebagai komoditas seksual yang dikonstruksikan dalam film “Jamila dan Sang Presiden” (Citra Peraduan).

C. Perspektif Teoritis

Pada dasarnya gerakan feminist lahir dari upaya untuk melakukan pembongkaran terhadap penindasan wanita. Feminisme ini adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan.

Untuk membahas permasalahan diatas, penulis mencoba menjelaskan menggunakan aliran feminist Marxis, karena fokus aliran ini, menuntut adanya pembebasan wanita. Pembebasan terhadap kaum wanita tersebut karena wanita disingkirkan secara ekonomi. Di beberapa negara di dunia, perempuan hampir seluruhnya terkungkung di dalam rumah, dirampas hak demokratis dan ekonominya, dan akhirnya menjadi seorang pekerja seks sebagai korban penindasan laki-laki. Feminist Marxis dan sosialis percaya bahwa opresi terhadap perempuan bukanlah hasil tindakan sengaja dari satu individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi tempat individu itu hidup (Tong, 1998: 139).

Kaum Feminis Marxis menolak gagasan kaum radikal bahwa ‘biologi’ sebagai dasar pembedaan. Bagi aliran feminist Marxis, penindasan perempuan adalah bagian dari eksploitasi kelas dalam ‘relasi produksi’. Isu perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme.

Dalam aliran ini, ketidaksetaraan kekayaan adalah penyebab pelacuran. Wanita sangat mungkin akan memilih untuk “menjual tubuhnya” karena mereka membutuhkan uang, tanpa ada ”keahlian yang dapat mereka pasarkan”. Penganut feminisme Marxisme beranggapan bahwa penyebab penindasan perempuan bersifat struktural (akumulasi kapital, dan divisi kerja internasional). Yang membuat wanita menjadi subordinat adalah karena basis material. Wanita tidak memberikan banyak kontribusi, berbeda halnya dengan pria. Hal ini juga terlihat dalam film tersebut, dimana karena masalah ekonomi, seorang wanita memutuskan untuk menjadi seorang pekerja seks/ pelacur (masuk dalam jaringan prostitusi). Pelacur adalah korban dan wanita ini berusaha merubah nasibnya untuk hidup bahagia seperti kita pada umumnya. Yang perlu ditekankan disini adalah peran teori feminist ini dalam mengkaji permasalahan wanita yang lemah dalam segi ekonomi, sehingga wanita dapat keluar dari jerat persoalan gender.

D. Pembahasan

Pada dasarnya manusia, baik pria maupun wanita, adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna, mempunyai akal dan budi untuk bertindak secara rasional dan sesuai dengan moral. Namun hal ini tidak berlaku lagi ketika wanita telah menjadi sebuah barang atau komoditas yang dapat diperjualbelikan. Fenomena ini tentu saja mengindikasikan terjadinya penyimpangan moral. Berangkat dari hal inilah, Ratna Sarumapaet kemudian menggambarkan realitas tersebut melalui film yang berjudul “Jamila dan Sang Presiden”. Cerita ini sebenarnya berawal dari sebuah naskah drama berjudul “Pelacur dan Sang Presiden” yang ditulis sendiri oleh Ratna berdasarkan hasil riset dan wawancara dengan para korban perdagangan perempuan.

Berbicara mengenai perdagangan manusia (human trafficking) tentu bukan menjadi persoalan baru bagi masyarakat Indonesia. Tidak hanya terjadi di Indonesia, kasus human trafficking juga telah marak terjadi di sejumlah negara di dunia. Menurut
UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, telah disebutkan bahwa yang disebut trafficking atau perdagangan manusia adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Meskipun demikian, perdagangan dan kasus prostitusi masih terjadi di Indonesia. Hal ini bisa disebabkan karena penanganan pemerintah yang masih kurang dan karena penegakan hukum bagi pelaku yang masih lemah.
Kaitannya dengan aliran feminist marxis ini adalah ketika kedudukan wanita menjadi subordinat, karena wanita tersebut lemah secara ekonomi. Dalam film tersebut, jelas terlihat bahwa Jamila adalah representasi dari wanita yang tersingkirkan. Seorang wanita yang berprofesi sebagai pekerja seks komersil (PSK) atau pelacur karena tuntutan ekonomi. Dengan alasan kemiskinan, setiap anak sah untuk diperdagangkan dan menjadi seorang pelacur, bahkan ketika wanita-wanita tersebut masih bayi. Jamila dijual kepada agen perdagangan untuk dibawa ke Kalimantan. Sampai suatu ketika, seorang Menteri menganiaya Jamila, dan saat itu juga Jamila kemudian membunuhnya. Ia membunuh, karena terpaksa membela, membela rasa ketidakadilan yang Ia terima karena perlakuan Menteri. Sampai pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada pelacur malang tersebut. Karena Jamila perempuan, ia dianggap “tak penting” untuk dibela. Grasi yang dimiliki presiden, tak digunakan untuk membebaskan Jamila dari eksekusi hukuman mati.

Sepenggal ilustrasi cerita dalam film “Jamila dan Sang Presiden”. Menurut penulis, aliran feminist ini cocok digunakan untuk mengkaji permasalahan human trafficking dan sindikat prostitusi yang tercermin dalam setiap adegan di film tersebut. Secara umum feminisme adalah gerakan wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarjinalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun dari segi kehidupan lainnya. Sesuai dengan aliran feminist Marxis ini, ketidaksetaraan kekayaan adalah penyebab dari pelacuran. Seorang pelacur sama halnya dengan seorang buruh yang “menjual” dirinya kepada orang lain untuk kemudian diberikan upah. Selain itu, profesi sebagai pelacur ini juga mengalami alienasi. Ia melakukan pekerjaan tersebut untuk orang lain, sehingga ia akan mengalienasikan diri dari pekerjaanya. Di dalam kapitalisme, seksualitas perempuan menjadi komoditi, tubuhnya diperlakukan layaknya sebuah “barang” yang dapat diperjualbelikan. Hal ini berlaku ketika seorang laki-laki kelas atas atau menengah yang mempunyai cukup uang untuk “membeli” pelayanan seksual perempuan. Pada film tersebut, digambarkan dalam sebuah adegan dimana para pejabat, seperti Menteri, menggandeng beberapa perempuan untuk menjadi pemuas nafsunya. Menteri-menteri ini sebagai representasi dari laki-laki kelas atas yang berlimpah harta dan kekayaan.

Merujuk pada asumsi dari aliran Marxis ini, bahwa perempuan itu tertindas karena tidak memiliki alat-alat produksi yang bisa digunakan untuk bisa menghasilkan uang. Akibatnya, perempuan tidak memiliki kekuasaan dalam baik dalam keluarga, masyarakat, maupun negara. Jamila tidak punya kekuasaan meminta presiden datang, dan memberikan grasi untuk membebaskannya. Inilah ketimpangan sosial yang masih sering terjadi dalam realitas kehidupan.

Seperti teori ekonomi dan kemasyarakatan, teori politik Marxis menawarkan suatu analisis bagi perempuan untuk mendapatkan kebebasan dari kekuatan yang menekannya. Marxis menginginkan hal tersebut sebagai suatu kenyataan. Bagaimanapun juga perempuan dan laki-laki harus dapat bersama-sama membangun sistem dan peran sosial di dalam masyarakat. Dengan kata lain, Marxisme menghendaki adanya kesetaraan gender antara wanita dan pria.

E. Kesimpulan

Dalam buku Glosarium Seks dan Gender, yang dimaksud kesetaraan jender (gender equality) adalah :

(1) kesetaraan kesempatan dan hasil untuk perempuan dan laki-laki, termasuk penghapusan diskriminasi dan ketidaksetaraan struktural dalam mengakses sumber daya, kesempatan, dan jasa-jasa,

(2) Kesamaan perolehan kesempatan dan hasil untuk perempuan dan laki-laki, termasuk penghapusan diskriminasi dan ketidaksetaraan struktural dalam mengakses sumber daya, kesempatan, dan jasa-jasa, seperti akses yang sama untuk kesehatan, pendidikan, sumber daya produktif, partisipasi sosial, dan ekonomi.

Adanya kesetaraan gender ini, akan meminimalisir terjadinya perdagangan manusia dan prostitusi. Wanita diperlakukan dengan manusiawi, sama halnya dengan pria. Dalam aliran Marxis juga mendukung penghancuran terhadap kapitalisme, sehingga wanita tidak lagi lemah dalam segi ekonomi. Wanita bukan sebagai komoditas bagi kaum pria. Sistem dalam penegakan hukum juga harus ditingkatkan. Peran dan posisi perempuan di dalam masyarakat tidak akan berubah jika cara pandang laki-laki, masyarakat, dan negara tetap dengan cara pandang maskulin. Perempuan akan terus teropresi. Oleh karena itu, akses dan kontrol perempuan harus dibuka dan diperluas pada semua aspek kehidupan.

Daftar Pustaka

Handayani,Trisakti; Sugiarti. 2005. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM press.

Tong, Rosemarie Putnam. 2008. Feminist Thought. Yogyakarta : Jalasutra.

http://kombinasi.net/representasi-perempuan-dalam-media/ (13 November 2010).

http://news.okezone.com/read/2009/05/18/1/220808/1/melirik-peta-human-trafficking-di-indonesia (13 November 2010).



Selasa, 02 November 2010

Peran Intelektual dalam Ruang Publik (Media Massa)

Keberadaan media pada zaman modern saat ini telah membawa pengaruh yang begitu besar dalam kehidupan masyarakat. Media dijadikan pedoman dan unsur penting dalam memberikan informasi yang sangat dibutuhkan oleh khalayak.

Dalam perkembangan media massa, kita bisa mendapatkan beragam informasi yang berisi edukasi maupun hiburan melalui surat kabar, radio, televisi, bahkan internet. Teknologi komunikasi telah mengambil alih beberapa fungsi sosial manusia. Setiap saat kita melihat fenomena baru yang terjadi dalam masyarakat, dimana fenomena itu merupakan suatu realitas yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan media massa di Indonesia cukup menakjubkan. Data yang ada, seperti dikutip Sendjaja (2000), menunjukkan kondisi sebagai berikut:

1. Di bidang pertelevisian, selain jaringan TVRI saat terdapat 10 (sepuluh) stasiun televisi swasta, yaitu RCTI, TPI, SCTV, ANTEVE, INDOSIAR, METRO TV, TRANSTV, LATIVI, GLOBAL TV, DAN TV 7. Di samping itu kini telah beroperasi 7 televisi berlangganan satelit, 6 televisi berlangganan terrestrial, dan 17 televisi berlangganan kabel.

2. Dunia penyiaran radio pun mengalami kemajuan meskipun tidak sepesat televisi. Hingga akhir tahun 2002, terdapat 1188 Stasiun Siaran Radio di Indonesia. Jumlah itu terdiri atas 56 stasiun RRI dan 1132 buah Stasiun Radio Swasta.

3. Perkembangan industri dan bisnis penyiaran ini tampaknya telah mendorong tumbuh pesatnya bisnis ‘Rumah Produksi’ (Production House/PH). Sebelum krisis ekonomi, tercatat ada 298 buah perusahaan PH yang beroperasi di mana sekitar 80% di antaranya berada di Jakarta.

4. Dunia bisnis media penerbitan, khususnya surat kabar dan majalah, juga mengalami peningkatan khususnya dalam hal kuantitas. Pada tahun 2000, menurut laporan MASINDO, terdapat 358 media penerbitan. Jumlah tersebut terdiri atas 104 surat kabar, 115 tabloid, dan 139 majalah.

Melihat perkembangan media pada data di atas, beberapa tayangan dalam media-media itu pasti turut mempengaruhi keinginan konsumen, dalam hal ini pemirsa, agar tetap setia, rutin menyaksikan tayangan tersebut. Akibatnya, kreatifitas dan potensi yang dimiliki kalangan intelektual sangat dibutuhkan guna mendongkrak atau mempertahankan rating acara televisi. Rating ini ibarat raport mingguan yang harus diperhatikan oleh pemilik media dan bisa dijadikan pedoman mengenai tayangan seperti apa yang menjadi selera konsumen saat ini. Kegiatan dalam melihat rating ini sangat bermanfaat untuk mengevaluasi program acara dalam televisi.

Namun, menurut pendapat saya, yang terjadi dalam industri media di Indonesia adalah tidak peduli apakah acara itu bermanfaat atau tidak, jika disaksikan oleh banyak pemirsa berarti acara tersebut akan terus ditayangkan dalam televisi. Sebaliknya jika suatu tayangan dalam televisi yang memuat ajaran moral, memberi inspirasi dalam kehidupan, namun ratingnya rendah tentu saja tidak akan ditayangkan lagi dalam televisi. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa yang akan terjadi apabila masyarakat disuguhkan tayangan yang hanya berorientasi pada rating?

Dalam permasalahan mengenai isi media ini sangat dibutuhkan peran seorang intelektual. Kalangan intelektual biasanya kritis terhadap mekanisme rating. Namun dalam suatu artikel yang saya temukan di internet menyebutkan bahwa kalangan intelektual tidak mengerti proses bagaimana media massa dibuat sehingga sering melakukan penilaian yang over simplifikasi terhadap motivasi kalangan pemilik dan pekerja media.

Menurut Rosten, banyak intelektual yang secara tidak sadar berpikir demikian. Intelektual berpendirian layaknya aristokrat, yang kadang tinggi hati. Mereka lupa, kalangan profesional media pun mempunyai latar belakang yang hampir sama dengan kalangan intelektual. Profesional media sebagian besar sarjana sebagaimana kalangan intelektual. Mereka sama-sama memiliki lingkungan sosial seperti keluarga, agama, dan etika dan pertimbangan moral.

Hal mendasar yang perlu diperhatikan oleh para intelektual yaitu menumbuhkan ide kreatif terhadapi isi media penyiaran agar tidak hanya bertumpu rating dan mekanisme pasar.

Bagaimana kepribadianmu???

“Siapapun bisa marah, marah itu mudah. Tetapi marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal yang mudah” (Aristoteles)

Seringkali kita terjebak dalam situasi yang menyebabkan kita berpikir tidak rasional, emosi, atau bahkan berperilaku sesuai dengan keinginan kita sendiri. Diri kita seolah-olah dikendalikan oleh “mesin penggerak” sehingga kita seperti tidak mengenal diri kita sendiri. Lalu apa sebenarnya “mesin penggerak” itu? Apa yang membuat kita cenderung ingin marah atau emosi?

Kutipan yang saya ambil dari Aristoteles diatas, ingin menjelaskan bahwa manusia mempunyai 3 hal penting dalam dirinya, Temperamen, Karakter, dan Kepribadian. Temperamen adalah kecenderungan dasar untuk bertingkah laku. Kita perlu mengetahui pola temperamen kita, agar kita dapat mendeteksi kecenderungan-kecenderungan tingkah laku kita. Pola temperamen ini ada 4 bagian. Diri kita memiliki keempat bagian tersebut, tetapi kadar dari masing-masing bagian itulah yang membedakan kita dengan orang lain.

· Temperamen Extrovert: Sanguine dan Kolerik

· Temperamen Introvert: Melankolis dan Plegmatis

Sanguine

Ciri-cirinya : Ramah, bersemangat, mudah terpengaruh, keputusan-keputusan dikuasai oleh perasaannya, bisa menceritakan dengan baik, tidak kekurangan teman, senang bergaul dan tidak senang kalau sendirian, terua terang.

Kelebihan : kehidupannya optimis,ramah, punya belas kasihan, melayani dengan baik.

Kekurangan : gelisah, susah konsentrasi, tidak disiplin, susah menyelesaikan tugasnya, emosi kurang stabil.

Pekerjaan : Penjual barang-barang, pekerja Rumah Sakit, Guru, Aktor, Pembicara.

Plegmatis

Ciri-cirinya : tenang, jarang khawatir, mudah disukai, bias menguasai emosi, konsisten, suka melucu, segan berubah dari rutinitas, simpatik, diplomatis.

Kelebihan : humoris, penasehat yang baik, dapat dipercaya.

Kekurangan : pelan-pelan, malas, keras kepala,kikir, takut mengambil resiko,egois.

Pekerjaan : diplomat, akuntan, pengajar, pemimpin.

Yang perlu kita ingat bahwa apapun profile dari temperamen kita, kita tetap mempunyai banyak kekurangan dan kelebihan.

Selain temperamen, manusia juga mempunyai karakter. Salah satu karakter atau watak yang dimiliki manusia adalah emphaty. Emphaty adalah kemampuan seseorang untuk berpikir dan berperasaan seperti orang lain.

Kepribadian adalah tingkah laku yang kita lakukan dan bersifat temporer. Jika di ibaratkan, kepribadian itu sebuah baju dan karakter itu adalah sesuatu yang berada di dalamnya. Jadi antara kepribadian dan karakter itu saling berkaitan.

Kita perlu mempelajari tingkah laku kita sendiri, sehingga kita bisa mengenal kecenderungan tingkah laku kita. Kita harus dapat mengendalikan diri kita sendiri. Lewat pengenalan inilah, kita akan mampu mengenal pribadi orang lain. Pasti banyak diantara kita yang mengalami kesulitan ketika berinteraksi dengan orang lain. Berinteraksi dan juga mempelajari tingkah laku orang lain juga sangat diperlukan di dalam menjalin relasi atau hubungan kerja, dan dalam organisasi dengan orang lain.

Jadi yang ingin saya kemukakan disini adalah sebagai manusia kita perlu meningkatkan perasaan, pikiran, dan tingkah laku kita sehingga bisa menjadi figure dan unsure yang baik bagi kehidupan kita sendiri dan orang-orang di sekeliling kita.